Menerapkan pengisian surat pemberitahuan (SPT) PPh Badan dalam formulir no. 1771.
Penghitungan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
A. Video Pembelajaran Pajak Penghasilan Final.
Menghitung
PPh Pasal 21 Berdasrkan PTKP Tahun 2013
Mulai
bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah berubah. Sekarang
untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan
jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per
bulan. Dengan adanya perubahan itu, tatacara penghitungan PPh Pasal 21 juga
mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan
Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Dalam
aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas
pemerintah, yang membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun
sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana
pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain
yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan
hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan
kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah,
organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi
serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium,
hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi
berkenaan dengan suatu kegiatan.
Penghitungan
PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6 macam,
yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; PPh
pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21
bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai
pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta
program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana pensiun.
Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk
Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
Penghitungan
PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi
2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21 masa atau bulanan yang rutin dilakukan
setiap bulan dan Penghitungan kembali yang dilakukan setiap masa pajak Desember
(atau masa pajak dimana pegawai berhenti bekerja).
Berikut
disampaikan contoh sebagai mana tercantum dalam peraturan tersebut.
Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:
Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:
Gaji
|
3.000.000,00
|
|
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
|
15.000,00
|
|
Premi Jaminan Kematian
|
9.000,00
|
|
Penghasilan bruto
|
3.024.000,00
|
|
Pengurangan
|
||
1. Biaya jabatan
|
||
5%x3.024.000,00
|
151.200,00
|
|
2. Iuran Pensiun
|
50.000,00
|
|
3. Iuran Jaminan Hari Tua
|
60.000,00
|
|
261.200,00
|
||
Penghasilan neto sebulan
|
2.762.800,00
|
|
Penghasilan neto setahun
|
||
12x2.762.800,00
|
33.153.600,00
|
|
PTKP
|
||
- untuk WP sendiri
|
24.300.000,00
|
|
- tambahan WP kawin
|
2.025.000,00
|
|
26.325.000,00
|
||
Penghasilan Kena Pajak setahun
|
6.828.600,00
|
|
Pembulatan
|
6.828.000,00
|
|
PPh terutang
|
||
5%x6.828.000,00
|
341.400,00
|
|
PPh Pasal 21 bulan Juli
|
||
341.400,00 : 12
|
28.452,00
|
Catatan:
- Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
- Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Juli adalah sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp 34.140,00
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP) TAHUN 2013.
Kabar untuk para Wajib Pajak (WP)
bahwa Pemerintah telah memastikan kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
dari Rp. 15,8 juta per tahun menjadi Rp. 24,3 juta per tahun dan akan mulai
berlaku pada tanggal 01 Januari 2013.
Kenaikan PTKP ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor
162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
ditetapkan pada tanggal 22 Oktober 2012.
Dengan berlakunya peraturan PTKP ini maka mulai tahun 2013, masyarakat
Indonesia yang memiliki penghasilan sampai dengan Rp. 24,3 juta tidak akan
dikenakan pajak.
Berikut adalah Jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) terbaru :1. Untuk Diri Wajib Pajak Orang Peribadi = Rp. 24.300.000,-
2. Tambahan Untuk Wajib Pajak Kawin = Rp. 2.025.000,-
3. Tambahan untuk penghasilan istri yang digabung dengan penghasilan suami = Rp. 24.300.000,-
4. Tambahan untuk anggota keluarga (max. 3 orang) = @ Rp. 2.025.000,-
Atau, Jumlah PTKP terbaru berdasarkan Status Perkawinan adalah sebagai berikut :
* TK/0 = Rp. 24.300.000,-
* K/0 = Rp. 26.325.000,-
* K/1 = Rp. 28.350.000,-
* K/2 = Rp. 30.375.000,-
* K/3 = Rp. 32.400.000,-
Pengertian PTKP
PTKP (Penghasilan
Tidak Kena Pajak) adalah penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan neto Wajib
Pajak Orang Pribadi jumlahnya dibawah PTKP tidak akan terkena Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 25/29 dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima
penghasilan sebagai objek PPh Pasal 21, maka penghasilan tersebut tidak akan
dilakukan pemotongan PPh Pasal 21.
Besarnya PTKP Untuk Tahun Pajak 2013
Besarnya penghasilan
tidak kena pajak (PTKP) untuk tahun pajak 2013 sebagai berikut :
1. Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga
ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
2. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu
rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
3. Rp24.300.000,00 (dua puluh empat juta tiga
ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008;
4. Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu
rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda
dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
PTKP ini mulai berlaku
sejak tanggal 1 Januari 2013 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam menjalankan
kewajiban PPh Pasal 21 dan PPh Orang Pribadi
Penerapan PTKP Dalam Perhitungan PPh Pasal 21 Dan PPh Orang
Pribadi Tahun 2013
Penerapan ketentuan
tersebut ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun
pajak.
Contoh :
Tahun 2013 Tuan Tugiyo
status Kawin anak 1 .
Pada Pebruari Tahun
2013 Isteri Tuan Tugiyo melahirkan anak.
PTKP Tahun 2013 untuk
status Tuan Tugiyo adalah Kawin anak 1
Penerapan PTKP Tahun 2013 untuk satu tahun :
PTKP Untuk Laki-laki Tidak Kawin dan Wanita
(kawin/tidak kawin)
|
||||
STATUS
|
TK/0
|
TK/1
|
TK/2
|
TK/3
|
Wajib Pajak (Laki-laki tidak kawin &
Wanita)
|
24.300.000
|
26.325.000
|
28.350.000
|
30.375.000
|
Penjelasan :
- Status Wanita meskipun sudah kawin tetap mempunyai PTKP tidak kawin kecuali dapat membuktikan bahwa suami tidak bekerja (dari Instansi terkait/kelurahan)
- TK/0 = Tidak Kawin tidak ada tanggungan ( 24.300.000 )
- TK/1 = Tidak Kawin memiliki 1 (satu) tanggungan ( 24.300.000 + 2.025.000)
- TK/2 = Tidak Kawin memiliki 2 (dua) tanggungan ( 24.300.000 + 2.025.000 + 2.025.000)
- TK/3 = Tidak Kawin memiliki 3 (tiga) tanggungan ( 24.300.000 + 2.025.000 + 2.025.000 + 2.025.000)
PTKP Untuk Laki-Laki Kawin Isteri Tidak
Bekerja/Tidak Usaha
|
||||
STATUS
|
K/0
|
K/1
|
K/2
|
K/3
|
Istri Tdk Kerja/ Tdk Usaha
|
26.325.000
|
28.350.000
|
30.375.000
|
32.400.000
|
Penjelasan Isteri Tidak Bekerja:
- K/0 = Kawin tidak ada tanggungan ( 24.300.000 + 2.025.000 )
- K/1 = Kawin memiliki 1 (satu) tanggungan ( 24.300.000 + 2.025.000+2.025.000)
- K/2 = Kawin memiliki 2 (dua) tanggungan ( 24.300.000 + 2.025.000+2.025.000+2.025.000)
- K/3 = Kawin memiliki 3 (tiga) tanggungan ( 24.300.000 + 2.025.000+2.025.000+2.025.000+2.025.000)
PTKP Untuk Laki-Laki Kawin Isteri
Bekerja/Usaha
|
||||
STATUS
|
K/I/0
|
K/I/1
|
K/I/2
|
K/I/3
|
Istri Kerja/Usaha
|
50.625.00
|
52.650.000
|
54.675.000
|
56.700.000
|
Penjelasan Isteri Bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja
atau usaha :
PTKP untuk isteri yang
bekerja pada satu pemberi kerja tidak digabung dengan suami, yang digabung
dengan PTKP suami hanya yang bekerja pada lebih dari
Definisi
atau pengertian pajak
Seringkali
kita menjumpai di sepanjang jalan, terutama kota-kota besar di indonesia banyak
terpampang iklan atau billboard yang bertuliskan “ORANG BIJAK TAAT PAJAK”.
Bagi orang yang belum tahu tentang pengertian pajak, maka hal tersebut
tentunya menjadi pertanyaan baru dalam dirinya. Ok… untuk menjawab pertanyaan
tersebut, dibawah ini duniabaca.com uraikan definisi pajak menurut beberapa
ahli, sebagaimana yang dilansir oleh wikipedia.
Definisi
Pajak Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Definisi
Pajak Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Pesan
Sponsor
Pengertian
Pajak Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Pajak
dari perspektif ekonomi dipahami
sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik.
Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi
menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai
sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya
kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang
merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara
pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu
perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya
kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada
negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus
dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini
memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang
sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul
pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Pajak
menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007
tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah “kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO BAGI WP OP
Alasan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan NetoInformasi yang
benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk
dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan
ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib
Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak
semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.
Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat /disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, ataub. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Syarat Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan NetoWajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto1. wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.2. Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dalam tahun pajak yang bersangkutan3. Wajib Pajak memperoleh penghasilan bruto tidak melebihi jumlah sesuai ketentuan
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan; ataub. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak diketahuimaka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Batasan Peredaran Bruto bagi WP OP yang diperkenankan menggunakan NPPNBesarnya peredaran bruto sebagai batasan untuk penggunaan NPPN bagi Wp OP dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan memerhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.Batasan peredaran bruto bagi WP OP yang diperkenankan menggunakan NPPN adalah:
Untuk Tahun 1983 - 1985Dasar Hukum:Undang-Undang No. 7 tahun 1983
Penghasilan Bruto setahun kurang dari Rp. 60.000.000
Tahun 1986 -1992Dasar hukum:KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 759/KMK.04/1986
Penghasilan Bruto setahun Kurang dari 120.000.000
Tahun 1993 - 2006Dasar hukum:KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIANOMOR 795/KMK.04/1993UU No 10 tahun 1994UU No 17 tahun 2000KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 536/PJ./2000
Penghasilan Bruto setahun kurang dari Rp.600.000.000
Tahun 2007 -2008Dasar Hukum:PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01/PMK.03/2007
P
enghasilan Bruto setahun kurang dari Rp. 1.800.000.000,00
Mulai tahun 2009Dasar Hukum:UU Nomor 36 tahun 2008
Penghasilan Bruto Setahun kurang dari Rp 4.800.000.000
Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat /disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, ataub. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Syarat Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan NetoWajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto1. wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.2. Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dalam tahun pajak yang bersangkutan3. Wajib Pajak memperoleh penghasilan bruto tidak melebihi jumlah sesuai ketentuan
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan; ataub. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak diketahuimaka peredaran bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Batasan Peredaran Bruto bagi WP OP yang diperkenankan menggunakan NPPNBesarnya peredaran bruto sebagai batasan untuk penggunaan NPPN bagi Wp OP dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan memerhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.Batasan peredaran bruto bagi WP OP yang diperkenankan menggunakan NPPN adalah:
Untuk Tahun 1983 - 1985Dasar Hukum:Undang-Undang No. 7 tahun 1983
Penghasilan Bruto setahun kurang dari Rp. 60.000.000
Tahun 1986 -1992Dasar hukum:KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 759/KMK.04/1986
Penghasilan Bruto setahun Kurang dari 120.000.000
Tahun 1993 - 2006Dasar hukum:KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIANOMOR 795/KMK.04/1993UU No 10 tahun 1994UU No 17 tahun 2000KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP - 536/PJ./2000
Penghasilan Bruto setahun kurang dari Rp.600.000.000
Tahun 2007 -2008Dasar Hukum:PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01/PMK.03/2007
P
Seri PBB - Pengalihan PBB Menjadi Pajak Daerah
Kapan kabupaten/kota dapat mulai mengelola PBB sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2)?
Paling lambat tanggal 1 Januari 2014 PBB-P2 akan dikelola oleh kabupaten/kota dan dalam hal sebelum tahun 2014 terdapat kabupaten/kota sudah siap untuk mengelola PBB-P2, yang dibuktikan dengan telah disahkannya Perda, maka kabupaten/kota dimaksud dapat mengelola PBB-P2 mulai tahun tersebut.
Apa tujuan dari pengalihan PBB-P2 menjadi Pajak daerah sesuai UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)?
Untuk meningkatkan local taxing power pada kabupaten/kota, seperti:
Pemerintah pusat akan mengalihkan semua kewenangan terkait pengelolaan PBB-P2 kepada kabupaten/kota. Kewenangan tersebut antara lain: proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan.
Apakah sama antara subjek pajak PBB-P2 saat dikelola oleh pemerintah pusat (Ditjen Pajak) dan saat dikelola oleh kabupaten/kota?
Subjek pajaknya sama, yaitu Orang atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. (Pasal 4 Ayat 1 UU PBB sama dengan Pasal 78 ayat (1) dan (2) UU PDRD)
Untuk objek pajak PBB-P2 sesuai UU PDRD apakah ada perbedaan dengan saat dikelola oleh Pusat?
Objek PBB sesuai:
Saat ini tarif PBB adalah tunggal, yaitu 0,5%. Ketika dikelola oleh pemda, maka tarifnya paling tinggi 0,3% (sesuai dengan UU PDRD)
Selain tarif, perbedaan apa yang akan timbul ketika PBB-P2 dikelola oleh kabupaten/kota?
Saat PBB dikelola oleh pemda:
UU PBB : Tarif x NJKP x (NJOP-NJOPTKP)
Penerimaan dari PBB 100% akan masuk ke pemerintah kabupaten/kota. Saat dikelola oleh Pemerintah Pusat (DJP) pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8%.
Apakah ada ketentuan yang bisa dijadikan acuan oleh kabupaten/kota dalam mempersiapkan pengelolaan PBB-P2?
Dalam mempersiapkan diri untuk mengelola PBB-P2, kabupaten/kota dapat berpedoman pada Undang-Undang PDRD dan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah.
Selain itu Direktur Jenderal Pajak juga telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2010 tentang Tata Cara Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah
Apa saja tugas dan tanggung jawab kabupaten/kota dalam rangka persiapan pengalihan PBB-P2?
Pemda harus menyiapkan:
Banyak hal yang bisa diadopsi oleh pemda dari DJP, antara lain:
Tantangan dalam pengalihan PBB-P2, antara lain:
Paling lambat tanggal 1 Januari 2014 PBB-P2 akan dikelola oleh kabupaten/kota dan dalam hal sebelum tahun 2014 terdapat kabupaten/kota sudah siap untuk mengelola PBB-P2, yang dibuktikan dengan telah disahkannya Perda, maka kabupaten/kota dimaksud dapat mengelola PBB-P2 mulai tahun tersebut.
Apa tujuan dari pengalihan PBB-P2 menjadi Pajak daerah sesuai UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)?
Untuk meningkatkan local taxing power pada kabupaten/kota, seperti:
- Memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah
- Menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB menjadi Pajak Daerah)
- Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah
- Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah
Pemerintah pusat akan mengalihkan semua kewenangan terkait pengelolaan PBB-P2 kepada kabupaten/kota. Kewenangan tersebut antara lain: proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/penagihan dan pelayanan.
Apakah sama antara subjek pajak PBB-P2 saat dikelola oleh pemerintah pusat (Ditjen Pajak) dan saat dikelola oleh kabupaten/kota?
Subjek pajaknya sama, yaitu Orang atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. (Pasal 4 Ayat 1 UU PBB sama dengan Pasal 78 ayat (1) dan (2) UU PDRD)
Untuk objek pajak PBB-P2 sesuai UU PDRD apakah ada perbedaan dengan saat dikelola oleh Pusat?
Objek PBB sesuai:
- UU PBB : bumi dan/atau bangunan
- UU PDRD : bumi dan/atau bangunan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan
Saat ini tarif PBB adalah tunggal, yaitu 0,5%. Ketika dikelola oleh pemda, maka tarifnya paling tinggi 0,3% (sesuai dengan UU PDRD)
Selain tarif, perbedaan apa yang akan timbul ketika PBB-P2 dikelola oleh kabupaten/kota?
Saat PBB dikelola oleh pemda:
- NJKP (20% dan 40%) tidak dipergunakan/diberlakukan
- NJOPTKP ditetapkan paling rendah Rp10 juta, yang saat ini ditetapkan setinggi-tingginya Rp12 juta (Rp24 juta mulai tahun 2012)
UU PBB : Tarif x NJKP x (NJOP-NJOPTKP)
- : 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
- : 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
- : Maks. 0,3% x (NJOP-NJOPTKP)
Penerimaan dari PBB 100% akan masuk ke pemerintah kabupaten/kota. Saat dikelola oleh Pemerintah Pusat (DJP) pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8%.
Apakah ada ketentuan yang bisa dijadikan acuan oleh kabupaten/kota dalam mempersiapkan pengelolaan PBB-P2?
Dalam mempersiapkan diri untuk mengelola PBB-P2, kabupaten/kota dapat berpedoman pada Undang-Undang PDRD dan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah.
Selain itu Direktur Jenderal Pajak juga telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2010 tentang Tata Cara Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah
Apa saja tugas dan tanggung jawab kabupaten/kota dalam rangka persiapan pengalihan PBB-P2?
Pemda harus menyiapkan:
- Perda, Perkepda, dan SOP
- Sumber Daya Manusia
- Struktur organisasi dan tata kerja
- Sarana dan prasarana
- Pembukaan rekening penerimaan
- Kerja sama dengan pihak-pihak terkait (notaris/PPAT, BPN, dll)
Banyak hal yang bisa diadopsi oleh pemda dari DJP, antara lain:
- Tarif efektif, sistem administrasi PBB (pendataan, penilaian, penetapan, dll.)
- Kebijakan/peraturan dan SOP pelayanan
- Keahlian SDM (melalui pelatihan)
- Sistem manajemen informasi objek pajak, dll.
- Kebijakan NJOP agar memperhatikan konsistensi, kesinambungan dan keseimbangan antar wilayah
- Kebijakan tarif PBB, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat
- Menjaga kualitas pelayanan kepada WP
- Akurasi data subjek dan objek pajak dalam SPPT tetap terjaga
- Penyeimbangan kepentingan budgeter dan reguler karena diskresi kebijakan ada di kabupaten/kota.
- Penggalian potensi penerimaan yang lebih optimal karena jaringan birokrasi yang lebih luas
- Peningkatan kualitas pelayanan kepada WP
- Peningkatan akuntabilitas penggunaan penerimaan PBB
Tantangan dalam pengalihan PBB-P2, antara lain:
- Kesiapan kabupaten/kota pada masa awal pengalihan yang belum optimal, sehingga dapat berdampak pada penurunan pelayanan, penerimaan, dll.
- Kesenjangan (disparitas) kebijakan PBB-P2 antar kabupaten/kota
- Hilangnya potensi penerimaan bagi provinsi (16,2%) dan hilangnya potensi penerimaan insentif PBB khususnya bagi kabupaten/kota yang potensi PBB-P2nya rendah
- Beban biaya pemungutan PBB-P2 yang cukup besar
- Proses pengalihan berjalan lancar dengan biaya yang minimal
- Stabilitas penerimaan PBB-P2 tetap terjaga dengan tingkat deviasi yang dapat diterima
- WP tidak merasakan adanya penurunan pelayanan
Mulai tahun 2009Dasar Hukum:UU Nomor 36 tahun 2008
Penghasilan Bruto Setahun kurang dari Rp 4.800.000.000
Perhitungan PPh Badan 2011
Tarif PPh
Badan Tahun Pajak 2010/2011
A. UMUM
Sesuai dengan Tarif Pasal 17 Undang Undang PPh,
maka tarif penghitungan PPh Badan untuk tahun pajak 2010 ini adalah tarif
tunggal sebesar 25% dari Penghasilan Kena Pajak.
B. FASILITAS
Sesuai dengan pasal 31E UU PPh
tersebut terdapat fasilitas atas besarnya tarif PPh Badan ini :
Wajib Pajak badan dalam negeri
dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh
persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan
ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah).
C. CONTOH PENGHITUNGAN
Contoh 1 :
Peredaran bruto PT Y dalam tahun
pajak 2010 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah)
dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Penghitungan pajak yang terutang:
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang
diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh
persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran
bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 25%) x Rp500.000.000,00 = Rp
62.500.000,-
Contoh 2 :
Peredaran bruto PT X dalam tahun
pajak 2010 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
- Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas: (Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 = Rp480.000.000,00
- Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas: Rp3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00
Sehingga penghitungan PPh
terutangnya adalah :
-
|
(50% x 25%) x Rp480.000.000,00
|
= Rp 60.000.000,00
|
-
|
25% x Rp2.520.000.000,00
|
=
Rp630.000.000,00(+)
|
Jumlah Pajak Penghasilan yang
terutang
|
Rp 690.000.000,00
|
Contoh 3 :
Peredaran bruto PT Z dalam tahun
pajak 2010 sebesar Rp60.000.000.000,00 (enam puluh milyar rupiah), dengan
penghasilan kena pajak sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Penghitungan pajak yang terutang:
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak
tersebut dikenai tarif sebesar 25% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang
berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Z lebih dari Rp 50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah)
Pajak Penghasilan yang terutang:
25% x Rp2.000.000.000,00 = Rp
500.000.000,-
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
I. Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah
PPh yang dipungut oleh:
- Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
- Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
II. Pemungut &
Objek PPh Pasal 22
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC),
atas impor barang;
2. Direktorat
Jenderal Anggaran (DJA), Bendaharawan Pemerintah Pusat/ Daerah yang melakukan
pembayaran, atas pembelian barang;
3. BUMN/BUMD yang
melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara
(APBN) dan atau belanja daerah (APBD);
4. Bank Indonesia
(Bl), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik
(BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara
(PLN), PT. Garuda Indonesia, PT.Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina dan
bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari
APBN maupun dari non APBN;
5. Industri
semen, industri rokok putih, industri kertas, industri baja dan industri
otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan
hasil produksinya di dalam negeri;
6. Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam
bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas, atas penjualan hasil
produksinya.
7. Industri
dan eksportir perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk
oleh Kepala Kantor Pelayanan Paja, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
III. Tarif PPh Pasal
22
1.
Atas impor :
1) yang
menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari
nilai impor;
2) yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen)
dari nilai impor;
3) yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga
jual lelang.
- Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJA, Bendaharawan Pemerintah, BUMN/BUMD (angka II butir 2,3, dan 4) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian dan tidak final.
- Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5) ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
- Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
- Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
- Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
- Rokok = 0.15% x Harga Bandrol (Final)
- Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
- Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh Pertamina dan badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan baker minyak jenis premix, super TT dan gas adalah sebagai berikut:
Jenis Bahan
Bakar |
SPBU
Swastanisani (% dari penjualan) |
SPBU Pertamina (%
dari penjua- lan)
|
Premium
|
0,3
|
0,25
|
Solar
|
0,3
|
0,25
|
Premix/
Super TT |
0,3
|
0,25
|
Minyak Tanah
|
0,3
|
|
Gas LPG
|
0,3
|
|
Pelumas
|
0,3
|
- Catatan:
- Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur /dealer/agen, bersifat final
- Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul (angka II butir 7) ditetapkan sebesar 0,5 % dari harga pembelian.
IV. Pengecualian
Pemungutan PPh Pasal 22
- Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (8KB).
- Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
- Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
- Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
- Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.
- Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
- Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
- Impor kembali (re-impor) yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
- Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
V. Saat Terutang dan
Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
- Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
- Atas pembelian barang (angka II butir 2,3, dan 4) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
- Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
- Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
- Atas pembelian bahan-bahan (angka II butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.
VI.Tata Cara
Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
- PPh Pasal 22 atas impor barang (angka II butir 1) disetor oleh importer dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro dalam jangka waktu 1(satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
- PPh Pasal 22 atas pembelian barang (angka II butir 2 dan 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro secara kolektif pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu:
- lembar pertama untuk pembeli;
- lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
- PPh Pasal 22 atas pembelian barang (angka II butir 4) disetor oleh pemungut atas nama Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
- PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5 dan 7) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
- PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir 6) disetor sendiri oleh Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order) ditebus dengan menggunakan SSP. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
- lembar pertama untuk pembeli;
- lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara
menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah
Masa Pajak berakhir.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan
jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pemotong dan Penerima Penghasilan
yang Dipotong PPh Pasal 23
1. Pemotong PPh Pasal 23:
- badan pemerintah;
- Wajib Pajak badan dalam negeri;
- penyelenggaraan kegiatan;
- bentuk usaha tetap (BUT);
- perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
- Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Penerima penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 23:
- WP dalam negeri;
- BUT
Tarif dan Objek PPh
Pasal 23
- 15 % dari jumlah bruto atas:
a. dividen, bunga, dan royalti;
b. hadiah dan penghargaan selain
yang telah dipotong PPh pasal 21.
- 15 % dari jumlah bruto dan final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, yang jumlahnya melebihi Rp. 240.000,00 setiap bulan.
- 5% dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Tarif, perkiraan penghasilan neto, dan objeknya adalah:
- 15 % x 10 % dari jumlah bruto atas sewa penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat.
- 15 % x 30 % dari jumlah bruto atas sewa lainnya (tidak termasuk sewa tanah dan bangunan).
- 15 % dari perkiraan penghasilan netto atas Imbalan jasa. Tarif, perkiraan penghasilan neto dan objek imbalan jasa adalah:
- 15 % x 30 % dari jumlah bruto imbalan jasa teknik dan jasa manajemen dan jasa konsultan kecuali konsultansi kontruksi
- 15% x 26 2/3% dari jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang) imbalan jasa perencanaan konstruksi, jasa pengawasan konstruksi;
- 15% x 30% dari jumlah bruto jasa penilai, jasa aktuaris, jasa akuntasi, jasa perancang, jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambang minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap, jasa penunjang di bidang penambangan migas, jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambang selain migas, jasa penunjang di bidang penerbang dan Bandar udara, jasa penebangan hutan, jasa pengelolaan limbah, jasa penyedia tenaga kerja, jasa perantara, jasa perantara, jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI, jasa kostudian/penyimpanan/ penitipan. Kecuali yang dilakukan KSEI, jasa pengisian suara, jasa mixing film, jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
- 15% x 30% dari jumlah bruto imbalan jasa instalasi / pemasangan :
- Jasa instalasi/pemasangan mesin,
- jasa instalasi / pemasangan peralatan listrik / telepon/air/ gas/ AC/TV kabel
Kecuali yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai
izin/sertifikat sebagai pengusaha konstruksi;
- 15% x 30% dari jumlah bruto imbalan jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan :
- Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan mesin,listrik /telepon /air / gas / AC / TV kabel;
- Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan peralatan;
- Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan bangunan;
Kecuali yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang ruang lingkup pekerjaanya di bidnag konstruksi dan mempunyai
izin/sertifikat sebagai pengusaha konstruksi.
- 15 % x 13 1/3 % dari jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang) imbalan jasa pelaksanaan konstruksi termasuk jasa perawatan/ pemeliharaan/ perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/ telepon/air/gas/AC/TV kabel yang dilakukan Wajib Pajak pengusaha Konstruksi yang mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
- 5 % x 20 % dari jumlah bruto imbalan jasa maklon, jasa penyelidikan dan keamanan, jasa penyelenggaraan kegiatan/event organizer, jasa pengepakan.
- 15 % x 20 % dari jumlah bruto imbalan jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi
- 5 % x 10 % dari jumlah bruto imbalan jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan /cleaning service.
- 15 % x 10 % dari jumlah bruto (yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang) imbalan Jasa katering
Penghitungan PPh Pasal
23 terutang menggunakan jumlah Bruto tidak termasuk PPN.
Dikecualikan dari
Pemotongan PPh Pasal 23
- Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
- Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
- Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
- dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
- bagi perseroan terbatas, BUMN/D, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
- Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
- Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi;
- SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
- Bunga simpanan anggota koperasi yang tidak melebihi jumlah Rp.240.000.00 setiap bulan.
Saat Terutang,
Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23
- PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
- PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
- SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Bukti Pemotong PPh
Pasal 23
Pemotong Pajak harus memberikan
Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan yang
telah dipotong PPh Pasal 23.
PAJAK PENGHASILAN ATAS JASA
KONSTRUKSI
Pengertian
- Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultansi pengawasan konstruksi;
- Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain;
- Pengguna jasa adalah orang pribadi atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi;
- Penyedia jasa adalah orang pribadi atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi. Penyedia jasa terdiri dari perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi
Subjek dan Objek Pajak
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha di bidang jasa konstruksi.
Tarif dan Tata Cara
Pemotongan
Tarif
- Wajib Pajak dalam negeri dan BUT yang menerima penghasilan dari jasa konstruksi dikenakan:
- Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 bila pengguna jasa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak. Dipotong PPh Pasal 23 pada saat pembayaran uang muka dan termijn, dan tidak final,
- Pajak berdasarkan ketentuan PPh Pasal 25 bila pengguna jasanya selain huruf a dan tidak final,
- Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 tersebut adalah 15% dari perkiraan penghasilan neto. Perkiraan penghasilan neto untuk jasa konstruksi adalah:
- Atas WP penyedia jasa perencanaan konstruksi = 26 2/3%
- Atas WP penyedia jasa pelaksanaan konstruksi = 13 1/3%
- Atas WP penyedia jasa pengawasan konstruksi = 26 2/3% dari jumlah bruto.
- Jumlah bruto adalah jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya, termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya.
- Wajib Pajak Dalam Negeri dengan kualifikasi usaha kecil berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, dan nilai pengadaannya sampai dengan Rp. 1 milyar, dikenakan PPh Final:
o 4 %
dari jumlah bruto atas jasa perencanaan konstruksi;
o 2 %
dari jumlah bruto atas jasa pelaksanaan konstruksi;
o 4 %
dari jumlah bruto atas jasa pengawasan konstruksi;
Tata Cara Pemotongan
- Bila pengguna jasa adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap atauWajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran.
- Bila pengguna jasa adalah selain huruf a, disetor sendiri oleh penerima penghasilan pada saat pembayaran.
Dalam hal wajib pajak telah memenuhi
kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh
lembaga yang berwenang, tetapi nilai pengadaannya lebih dari Rp.
1.000.000.000,-(satu milyar rupiah), maka atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dikenakan PPh berdasarkan ketentuan umum Undang-undang PPh .
Tata Cara Pembayaran dan
Pelaporan
- Pembayaran/penyetoran pajak, baik atas pemotongan maupun atas penyetoran sendiri dilakukan ke bank persepsi atau PT Pos paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir
- WP wajib menyampaikan laporan pemotongan, dan atau penyetoran pajaknya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH DAN
PENGHARGAAN
Pengertian
- Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan melalui undian.
- Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.
- Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah.
- Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi dalam kegiatan tertentu.
Pemotong PPh
Pemotong Pajak Penghasilan (PPh)
adalah:
- penyelenggara undian;
- pemberi hadiah
Tarif
- Atas hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25% (duapuluh lima persen) dari jumlah bruto hadiah atau nilai pasar hadiah berupa natura dan bersifat final.
- Atas hadiah atau penghargaan, perlombaan, penghargaan dan hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya, dikenakan PPh dengan ketentuan sebagai berikut:
- dikenakan PPh pasal 21 sebesar tarif PPh pasal 17 Undang-undang PPh, bila penerima Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
- dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20% (duapuluh persen) dan final dari jumlah bruto dengan memperhatikan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, bila penerima Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT.
- dikenakan PPh pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah penghasilan bruto, bila penerima Wajib Pajak badan.
Saat Terutang,
Penyetoran, dan Pelaporan
1. Saat terutang
- PPh atas hadiah dan penghargaan terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau diserahkannya hadiah tergantung peristiwa yang terjadi lebih dahulu.
- PPh dipotong oleh penyelenggara (hadiah dan penghargaan) sebelum hadiah atau penghargaan diserahkan kepada yang berhak.
- Penyelenggara wajib membuat dan memberikan bukti pemotongan PPh atas Hadiah atau Undian, rangkap 3:
- lembar ke-1 untuk penerima hadiah (Wajib Pajak);
- lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar ke-3 untuk Penyelenggara/ Pemotong.
2. Penyetoran dan Pelaporan
Penyelenggara undian atau
penghargaan wajib:
- menyetor PPh yang telah dipotong dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya Pajak (secara kolektif)
- menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong terdaftar paling lambat tanggal 20 (duapuluh) bulan berikutnya setelah dibayarkannya atau diserahkannya hadiah undian tersebut.
Lain-lain
Tidak termasuk dalam pengertian
hadiah dan penghargaan yang dikenakan PPh adalah hadiah langsung dalam
penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau
konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen
akhir pada saat pembelian barang atau jasa.
PAJAK PENGHASILAN ATAS BUNGA
DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SBI
Pengertian
- Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dipotong Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final.
- Termasuk bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
Objek dan Tarif
Atas bunga deposito dan tabungan
serta diskonto SBI dikenakan PPh final sebesar:
- 20% (duapuluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
- 20% (duapuluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.
Pemotong PPh
Pemotong PPh atas bunga deposito dan
tabungan serta diskonto adalah :
- Bank Pembayar Bunga;
- Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan dan Bank yang menjual kembali sertifikat Bl (SBI) kepada pihak lain yang bukan dana pensiun yang pendiriannya belum disahkan oleh Menteri Keuangan dan bukan bank wajib memotong PPh atau diskonto SBI tersebut.
Dikecualikan dari
Pemotongan PPh
- Jumlah deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan Jumlah yang dipecah-pecah.
- Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang Bank luar negeri di Indonesia.
- Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 Undang-undang 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun, diberikan berdasarkan Surat Keterangan Bebas (SKB), yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat dana pensiun terdaftar.
- Bunga tabungan pada Bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana; kavling siap bangun untuk Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana atau Rumah Susun Sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
Ketentuan pada butir 3 dan 4 diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri terkait.
Lain-lain :
Orang pribadi subyek pajak dalam
negeri yang seluruh penghasilannya dalam satu tahun pajak termasuk bunga dan
diskonto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, atas pajak yang telah
dipotong, dapat mengajukan permohonan pengembalian (Restitusi).
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari
Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain
bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Pemotong PPh Pasal 26
- Badan Pemerintah;
- Subjek Pajak dalam negeri;
- Penyelenggara Kegiatan;
- BUT;
- Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT di Indonesia.
Tarif dan Objek PPh
Pasal 26
- 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
- dividen;
- bunga, premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang;
- royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
- imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
- hadiah dan penghargaan
- pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
- 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
- penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
- premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
- 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
- Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.
Saat Terutang, Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 26
- PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.
- Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
- lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
- lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
- PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
- SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh : Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2001, penyetoran paling lambat tanggal 10 Juni 2001; dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 Juni 2001.
Pengecualian
- BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan syarat:
- dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
- dilakukan dalam tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
- tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil.
- Badan-badan Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
- PAJAK PENGHASILAN PASAL 29.
- Pengertaian PPh pasal 29 Pajak Penghasilan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan sebagai akibat PPh Terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan lebih besar dari pada kredit pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan yang telah disetor sendiri.
-
PPh Pasal 29 harus disetor menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling
lambat sebelum SPT Tahunan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak.
Kode jenis setoran PPh Pasal 29 untuk wajib pajak badan adalah 411126-200
Kode jenid setoran PPh Pasal 29 untuk wajib pajak orang pribadi adalah 411125-200
Contoh :
PPh Terutang : 100.000.000
Kredit Pajak :
PPh Pasal 22 : 10.000.000
PPh Pasal 25 : 20.000.000 + 30.000.000 -
PPh Pasal 29 70.000.000
FISKAL LUAR NEGERI
Pengertian
Fiskal Luar Negeri (FLN) adalah
Pajak Penghasilan (PPh) yang wajib dibayar oleh setiap Orang Pribadi yang akan
bertolak ke luar negeri.
Pembayaran dan
Pengkreditan FLN
- Tarif Fiskal Luar Negeri adalah :
- Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan pesawat udara;
- Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan kapal laut;
- Dilaksanakan dengan menggunakanTanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBFLN) di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri maupun tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
- Anggota keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan Jurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, TBPFLN diisi dengan nama/ identitas anggota keluarga yang pertolak ke luar negeri, dan NPWP yang dicantumkan adalah NPWP kepala keluarga.
- Pembayaran FLN bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) ualam Negeri merupakan pembayaran PPh pasal 25 yang aapat dikreditkan dengan PPh yang terutang pada SPT Tahunan Hh untuk tahun pajak yang bersangkutan;
- Pembayaran FLN bagi WP OP yang tidak mempunyai NPWP dapat dikreditkan dengan PPh terutang dengan syarat WP OP ersebut mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP serta menyampaikan SPT Tahunan PPh ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat domisili WP;
- Pembayaran FLN bagi karyawan yang bertolak ke Luar Negeri tidak dapat dikreditkan dengan PPh Pasal 21;
- Pembayaran FLN bagi karyawan (tidak termasuk isteri dan anak), yang ditanggung pemberi kerja dapat dikreditkan terhadap PPh terutang dalam SPTTahunan Pemberi Kerja untuk tahun pajak yang bersangkutan sepanjang kepergian karyawan yang bersangkutan dalam rangka tugas (dinas) untuk kepentingan perusahaan.
Pengecualian Fiskal
Luar Negeri
Orang Pribadi yang akan bertolak ke
luar negeri dikecualikan dari pembayaran FLN dengan cara sebagai berikut:
- pembebasan langsung, diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang;
- pembebasan melalui pemberian Surat Keterangan Bebas Fiskai Luar Negeri (SKBFLN) diterbitkan Unit Fiskai Luar Negeri (UPFLN) DJP.
Pembebasan Langsung:
- Anggota Korps Diplomatik, Pegawai Perwakilan Negara Asing. staf dari Badan-Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). tenaga ahli dalam rangka kerja sama teknik dan staf dari Badan/ Organisasi internasional yang mendapat persetujuan Pemerintah Rl, sepanjang mereka bukan Warga Negara Indonesia (WNI) dan disamping jabatan resminya tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha di Indonesia beserta anggota keluarga dan pembantu rumah tangganya yang bukan WNI dengan menggunakan paspor diplomatik.
- Pejabat negara, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Polisi Republik Indonesia (POLRI) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertolak ke luar negeri dalam rangka dinas yang menggunakan Paspor Dinas, dan dilengkapi dengan surat tugas/perjalanan dinas ke luar negeri untuk setiap kali keberangkatan.
Dalam hal keberangkatannya ke Luar
Negeri dalam rangka penempatan di luar negeri, pembebasan diberikan juga kepada
isteri dan anak-anaknya.
- Anggota TNI atau POLRI yang mendapat tugas pemeriksaan sebagaipasukan PBB atau dalam rangka latihan bersama dengan pasukan negara lain di luar negeri, dengan menyerahkan surat tugas dari kesatuan yang bersangkutan dengan menunjukkan daftar anggota pasukan oleh pimpinan rombongan.
- Petugas imigrasi yang melakukan tugas pemeriksaan keimigrasian dalam pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional atau kapal laut perusahaan pelayaran nasional dengan memperlihatkan surat tugas atau identitas lainnya.
- Jemaah haji yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Departemen Agama dan petugas pelaksana pemberang-katan haji yang pembiayaannya dibebankan pada dana Ongkos Naik Haji dengan menunjukan daftar nama para jemaah haji oleh pimpinan rombangan dan petugas pelaksana pemberangkatan haji dengan menyerahkan surat dari Departemen Agama.
- Penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah Rl dengan mempergunakan Pas Lintas Batas sesuai dengan perjanjian lintas batas dengan negara terkait;
- Orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, transit, visa sosial budaya, visa kunjungan usaha, dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
- Orang asing yang karena sesuatu hal diperintahkan oleh Pemerintah Indonesia untuk meninggalkan wilayah Republik Indonesia.
- Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub regional ASEAN yang bertolak ke luar negeri dalam daerah kerja sama melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri dalam daerah kerjasama.
- Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub regional Indonesia-Australia (AIDA) yang bertolak ke Australia melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri dalam daerah kerjasama kecuali Bali.
Pembebasan Melalui
Pemberian SKBFLN :
- Anggota TNI atau POLRI dan PNS yang bertugas dibidang keamanan dan pelayanan pemerintahan di daerah perbatasan yang melaksanakan tugas dinas ke luar negeri dalam rangka kerja sama dengan negara yang berbatasan;
- Penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap di Pulau Batam yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang di pulau tersebut, sepanjang mereka telah dipotong Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan atau telah terdaftar sebagai wajib pajak dan telah memenuhi kewajiban Pajak penghasilannya pada Kantor Pelayanan Pajak Batam.
- Tenaga Kerja Warga Negara Asing pendatang yang bekerja di pulau Batam, pulau Bintan ,pulau Karimun, sepanjang mereka telah dipotong PPh Pasal 21/26 oleh pemberi kerja, SKBFLN diterbitkan oleh UPFLN Direktorat Jenderal Pajak di daerah setempat;
- Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bertempat tinggal atau tidak bermaksud menetap di Indonesia dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari (seratus delapan puluh tiga) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sepanjang atas penghasilan tersebut telah dipotong PPh pasal 26 oleh pemberi penghasilan.
- Mahasiswa atau pelajar asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar dengan rekomendasi dari pimpinan sekolah atau perguruan tinggi yang bersangkutan dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
- Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan penelitian dibidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dibawah koordinasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau lembaga resmi Pemerintah lainnya serta Departemen Pendidikan Nasional, sepanjang tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
- Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka pelaksanaan program kerjasama teknik dengan mendapat persetujuan Sekretariat Kabinet serta tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
- Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan tugas sebagai anggota misi keagamaan dibawah koordinasi Departemen Agama dan misi kemanusiaan dibawah koordinasi Departemen terkait dengan menyerahkan surat persetujuan atau rekomendasi dari Departemen Agama dan Departemen terkait serta surat pernyataan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
- Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi sosial termasuk 1 (satu) orang pendamping dengan persetujuan Menteri Kesehatan.
- Anggota Korps Diplomatik, Pegawai Perwakilan Negara Asing, staf dari Badan-Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), tenaga ahli dalam rangka kerja sama teknik dan staf dari Badan/ Organisasi internasional yang mendapat persetujuan pemerintah RI, sepanjang mereka bukan Warga Negara Indonesia dan disamping jabatan resminya tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha di Indonesia beserta anggota keluarga dan pembantu rumah tangganya yang bukan WNI, dengan menggunakan paspor diplomatik/dinas dengan menyerahkan rekomendasi dari Badan/Organisasi Internasional yang bersangkutan.
- Anak-anak yang berangkat ke Luar Negeri sepanjang umurnya tidak melebihi 12 tahun berdasarkan Bukti Surat kependudukan atau paspor yang bersangkutan.
- Orang pribadi yang berasal dari bekas propinsi Timor Timur yang berada di Indonesia dalam status pengungsi, yg telah memutuskan menjadi Warga Negara bekas Propinsi Timor Timur dan akan kembali Ke Timor Timur, berdasarkan rekomendasi Palang Merah Indonesia.
- WNI yang akan bekerja di Luar Negeri dalam rangka program pengiriman TKI dengan persetujuan Menteri Tenaga Kerja.
- Awak pesawat terbang dan awak kapal laut yang beroperasi di jalur internasional atau yang melakukan penerbangan, pelayaran, dan operasi berdasarkan perjanjian carter angkutan.
- Anggota misi kesenian, misi Olah raga dan misi keagamaan serta misi dagang atau pameran yang mewakili pemerintah RI di luar negeri.
- Mahasiswa atau pelajar
Indonesia yang pergi ke Luar Negeri serta guru Indonesia dalam rangka
program resmi pertukaran mahasiswa atau
pelajar atau guru yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Badan Asing dengan persetujuan Menteri terkait. - WNI yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang memiliki tanda pengenal resmi sebagai penduduk luar negeri tersebut dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia sepanjang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan pembebasan tersebut hanya diberikan untuk 4 (empat) kali dalam masa 1 (satu) tahun takwim.
- Orang Pribadi WNA yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Catatan :
- huruf e, f, g, h, o, dan p tidak berlaku bagi isteri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya.
- huruf e, f, g, h, o, dan p tidak berlaku bagi isteri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya.
Cara Memperoleh SKBFLN
- Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat keberangkatan ke luar negeri.
- Bila permohonan disetujui, maka akan diberikan rekomendasi pembebasan FLN.
- Berdasarkan rekomendasi tersebut, unit FLN di pelabuhan laut atau bandar udara tempat pemberangkatan akan menerbitkan SKBFLN.
- Bagi WP luar negeri yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan kantor perwakilan wilayah perusahaan asing, permohonan pembebasan kewajiban membayar FLN diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai unit pelaksana FLN dimana kantor perwakilan wilayah perusahaan asing tersebut berkedudukan, sebagai pengganti SKBFLN.
PAJAK PENGHASILAN atas PENGHASILAN
dari PENGALIHAN HAK atas TANAH dan atau BANGUNAN
Pengertian
Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan (PPh).
Pengalihan atas Tanah dan/atau
Bangunan adalah:
- penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain Pemerintah;
- penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain yang disepakati dengan Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;
- penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Pembayar atau Penyetor
PPh
- Orang Pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
- Bendaharawan Pemerintah atau Pejabat yang melakukan pembayaran atau menyetujui tukar-menukar.
Tarif dan Dasar
Pengenaan Pajak
- Wajib Pajak Orang Pribadi , yayasan atau organisasi sejenis baik merupakan usaha pokok maupun diluar usaha pokok yang mengalihkan hak atas tanah dan atau bangunan wajib membayar PPh Final 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan, yaitu nilai tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah dan atau bangunan, kecuali:
- dalam hal pengalihan hak kepada Pemerintah, adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan;
- dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang, adalah nilai menurut risalah lelang.
Dalam hal pengalihan hak kepada
Pemerintah, PPh Final 5% dipotong oleh Bendaharawan Pemerintah atau pejabat
yang berwenang. NJOP adalah NJOP menurut Surat Pemberitahuan PajakTerutang
Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB), atau dalam hal SPPT belum terbit, adalah
NJOP menurut SPPT tahun sebelumnya. Apabila tanah dan atau bangunan belum
terdaftar pada Kantor Pelayanan PBB , maka NJOP yang dipakai adalah NJOP
menurut surat keterangan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan PBB
setempat.
- Wajib Pajak Badan termasuk Koperasi yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan pengenaan PPhnya berdasarkan ketentuan umum Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-undang PPh, dan tidak final.
- Wajib Pajak Badan yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan di luar kegiatan usaha pokoknya, wajib membayar PPh 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak, dan tidak final.
Dikecualikan dari
Kewajiban Pembayaran/ Pemungutan PPh
- Hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan social atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan, berdasarkan Surat Keterangan Bebas (SKB).
- Pengalihan hak yang jumlah brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah- pecah, oleh Orang Pribadi yang total penghasilannya tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
- Pengalihan hak ke pada Pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
- Pengalihan hak sehubungan dengan warisan, berdasarkan SKB.
- Dalam rangka penggabungan, peleburan dan pemekaran usaha dengan nilai buku, berdasarkan SKB.
Tata Cara Pembayaran
dan Pemungutan
- Orang Pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, wajib membayar sendiri PPh yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos sebelum akta, keputusan perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), dan pada SSP wajib dicantumkan:
- nama, alamat dan NPWP pihak yang mengalihkan Orang Pribadi atau badan yang bersangkutan.
- Lokasi tanah dan atau bangunan yang dialihkan
- Nama pembeli
- Bila pihak yang mengalihkan belum memiliki NPWP, maka NPWP agar diisi 0 dan tiga digit kode KPP.
- Orang Pribadi yang nilai pengalihan tidak lebih dari Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) tetapi penghasilan lainnya dalam satu tahun melebihi PTKP, penyetoran PPh Final selambat-lambatnya pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
- Bendaharawan Pemerintah atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar-menukar, memungut PPh yang terutang dan menyetorkannya ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan SSP sebelum pembayaran atau tukar-menukar dilaksanakan kepada Orang Pribadi atau Badan.
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
Pengertian
Atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan dari Persewaan tanah dan atau bangunan
berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran,
rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, terutang Pajak Penghasilan
yang bersifat final.
Objek dan Tarif
Atas penghasilan dari persewaan
tanah dan atau bangunan dikenakan PPh final sebesar 10% (duapuluh persen) dari
jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/ atau bangunan. Yang dimaksud dengan
jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang
oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun jug yang berkaitan dengan
tanah dan/atau bangunan yang disewakan termasuk biaya perawatan, biaya
pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan “service charge” baik
yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.
Pemotong PPh
Pemotong PPh atas penghasilan yang
diterima dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah :
- Apabila penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan, dalam negeri,penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilian perusahaan luar negeri lainnya dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dipotong oleh penyewa dan penyewa wajib memberikan bukti potong (formulir F.1.33.12) kepada yang menyewakanatau yang menrima penghasilan ;
- Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan selain yang tersebut pada butir 1 di atas, maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan.
Saat Terutang,
Penyetoran, dan Pelaporan
1. Saat terutang
PPh atas penghasilan dari persewaan
tanah dan/atau bangunan terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa.
2. Penyetoran dan
Pelaporan
- Dalam hal PPh terutang harus dilunasi melalui pemotongan oleh penyewa, penyetoran ke bank persepsi dan Kantor Pos selambat- lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau formulir F.2.0.32.01. Untuk pelaporan pemotongan dan penyetorannya dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat(2) atau formulir F.1.1.32.04;
- Dalam hal PPh terutang harus disetor sendiri oleh yang menyewakan, maka yang menyewakan wajib menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau formulir F.2.0.32.01.
Untuk pelaporan penyetorannya
dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan
berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa dengan menggunakan
SPT Masa PPh Pasal 4 ayat(2) atau formulir F.1.1.32.04.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar